Social Icons

Rabu, 22 Desember 2010

makalah IAD

ILMU ALAMIAH DASAR
Kerifan lokal”

Makalah Ini Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Kelompok Pada Matakuliah
Ilmu Alamiah Dasar
                                                                                                  











Disusun Oleh :

Amar Sutiana      (1210201011)
Aceng Qodir         (1210201003)
Ahmad Firdaus    (1210201001)
Hidayatulloh         (12102010    )
Enjang ulumudin  (12102010    )
Herman                  (12102010    )






UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
PRODI KEPENDIDIKAN ISLAM (KI)
2010


KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr.Wb.
     Segala puji serta syukur kita panjatkan kehadirat  Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada penulis, sehingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini dengan tepat waktu. Shalawat serta salam mudah-mudahan selamanya tetap tercurah limpahkan kepada jungjungan kita Nabi besar Muhammad Saw, Kepada keluarganya, Shahabat, Tabi’in, dan semoga sampai kepada kita sekalian sebagai umatnya. Amin yaarobbal ’alamin.
     Dalam penyusunan makalah ini, penulis menyadari sepenuhnya sebagai manusia biasa yang memiliki kemampuan terbatas dan tidak lepas dari kekurangan. Penulis telah berusaha semaksimal mungkin baik dalam mencari, mengumpulkan data, maupun dalam menyusun, dan menyimpulkannya.
     Akhirnya penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini.  
Mudah-mudahan apa-apa yang telah kita kerjakan selalu berada pada Ridho-Nya dan dicatat sebagai amal shaleh. Amien.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.


i



DAFTAR ISI
                                                                                                                                     

KATA PENGANTAR................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................. ii
BAB I  PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2  Rumusan Masalah........................................................................... 2
1.3  Tujuan Penulisan ............................................................................ 2
BAB II  PEMBAHASAN
2.1  Pengertian Kearifan lokal ............................................................... 3
2.2  Analisis kearifan lokal..................................................................... 4
2.3  Fungsi Kearifan lokal  .................................................................... 5
BAB III  PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 12


                          

Ii

BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
           Penghargaan masyarakat terhadap nilai kearifak lokal ini menjadi kunci penting dalam rangka mempertahankan budaya. Masyarakat ini teridiri dari para konsumen untuk lebih bisa memilih nilai daripada harga, produsen untuk lebih menghargai para pengrajin, dan para pengrajin untuk mau melakukan kaderisasi atas motif-motifnya
Suatu tempat dikatakan mempunyai makna, bila dapat membantu memahami masa lalu, memperkaya masa kini, dan dapat menjadi nilai untuk generasi yang akan ultur. Termasuk di dalamnya adalah, nilai estetis, nilai sejarah, nilai estetika, nilai ilmiah, dan nilai ultur termasuk dalam konsep makna ultural seperti tertuang dalam piagam Burra (Burra Charter, 1981).
Pendekatan ini ada kelemahannya, yaitu penerjemahan maupun penilaian terhadap makna ultural suatu bangunan kuno bersifat subjektif dalam artian tergantung pada masing-masing orang untuk menilai. Diperlukan adanya penelaahan budaya yang lebih mendalam lagi, agar nilai budaya yang terdapat dalam bangunan maupun kawasan bersejarah itu dapat terungkap dengan baik melalui pendekatan makna kulturalnya.


1
1.2 Rumusan masalah
Dalam latara belakang yang telah di uaraikan secara umum pada sebelumnya,untuk itu agar permasalahan yang akan disajikan dalam penulisan dapat terurai dengan jelas.maka penulis akan merumuskan masalah sebagai berikut:
1.Apa yang dimaksud dengan kearifan lokal?
2.Bagaimana untuk menganalisis kearifan lokal?
3.Apa fungsi kearifan lokal?
1.3 Tujuan penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.Untuk memenuhi tugas UAS pada Matakuliah Ilmu Alamiah Dasar.
2.Untuk memberikan penjelasan mengenai kearifan lokal.
3.Untuk mengetahui cara menganlisis kearifan lokal.
4.Untuk mengetahui fungsi kearifan lokal.



2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.Pengertian Kearifan lokal
Kearifan lokal (local wisdom) merupakan bagian dari sistem budaya, biasanya berupa larangan-larangan (tabu-tab) yang mengatur hubungan sosial maupun hubungan manusia dengan lingkungan Alamnya. Kearifan lokal berfungsi untuk menjaga kelestarian dan kesinambungan “aset” yang dimiliki suatu masyarakat sehingga masyarakat dapat terpenuhi kebutuhan-kebutuhannya dari generasi kegenerasi berikutnya, tanpa harus merusak atau menghabiskan “aset” tersebut. Oleh sebab itu, kearifan lokal selalu dijadikan pedoman atau acuan oleh masyarakat dalam bertindak atau berperilaku dalam praksis kehidupannya. Hal ini merupakan wujud dari kesadaran trehadap hukum kausalitas(sebab-akibat) dan pemahaman terhadap hubungan yang bersifat simbiosis mtualis.
             Setiap masyarakat akan mengembangkan kearifan lokal sesuai dengan kondisi lingkungan sosialnya maupun lingkungan alamnya serta sistem pengetahuan yang dimilikinya. Berikut beberapa contoh kearifan lokal yang terdapat pada beberapa etnis di Bengkulu, seperti: Eknik Rejang yang dikenal sejak nenek moyangnya dahulu merupakan masyarakat yang bersomisili di tepian hutan, telah mengembangkan kearifan lokal untuk menjaga kelestarian hutan, berupa zonasi hutan (imbo-lem/hutan dalam-imbo u’ai atau hutan muda – penggea imbo atau hutan pinggiran), aturan-aturan tentang penanaman dan penebangan kayu, serta tata cara pembukaan ladang (lihat tjahjono, dkk, 1999).       Sedangkan etnik Serawaiyang diokenal sebagai tipikal masyarakat peladang, telah mengembangkan kearifan lokal dalam pembukaan ladang sedemikian.
Menurut penjelasan, semula asa sekitar 20 jenis pantangan yang disebut celako humo atau cacat humo ini, namun dalam perkembangandewasa hanya tinggal sekitar 7 jenis yang masih dipertahankan, yaitu: ulu tulung buntu, sepelancar perahu, kijang ngulangi tai, macan merunggu, sepit panggang, bapak menunggu anak, dan nunggu sangkup.
3
Bagi suku bangsa Serawai alasan yang melatar belakangi tabu-tabu celako humo dipahami secara transendental dalam bentuk justification: bahwa siapa yang melanggar pantangan tersebut akan terkena penyakit atau hasil ladangnya akan gagal. Substansi norma-norma yang terkandung didalam celako humo selaain mengandung aturan-aturan untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup (dimensi ekologis), juga mengandung etika sosial yang menempatkan sesorang pada kedudukan sosialnya. (lihat tjahjono,). Demikian pula pada etnik Enggano yang berdomisili di wilayah berekosistem pulau/pesisir mempunyai kearifan lokal dalam pengelolaan sumberdaya hutan dan kelautan, seperti aturan cara penangkapan ikan, lola’ (keong laut), teripang dan pelestarian terumbu karang (lihat tjahjono, 1995).
2.2.Analisa Kearifan Lokal
       Salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah dengan merevitalisasi kearifan lokal yang dimiliki barbagai etnis yang berdomisili di bengkulu. rasionalitasnya adalah bahwa kearifan lokal yang pernah di kembangkan dan di gunakan oleh nenek-moyang berbagai etnis yang berdomisili di bengkulu telah terbukti mampu menjaga kelestarian dan keseimbangan masyarakat penduduknya ketika berinteraksi dengan lingkungan sosialnya maupun lingkungan alamnya.
Langkah refitalisasi kearifan lokal ini, merupakan upaya untuk meyakinkan kepada masyarakat penduduknya, bahwa nilai-nilai dan aturan-aturan yang pernah di buat oleh nenek-moyangnya merupakan suatu adaptasi terhadap lingkungan sosial maupun lingkungan alamnya. Jika masyarakat telah kembali mempunyai keyakinan dan pemahaman terhadap kearifan lokal, maka kearifan lokal ini dapat di jadikan sebagai modal sosial dalam rangka mengolola sumber daya-sumber daya yang tersedia untuk kepentingan dan kesejahteraan bersama.
 4
Proses dari langkah ini memang tidak mudah, sebab akan berhadapan dengan berbagai kepentingan yang masing-masing tentu memberi stimulan benefit[keuntungan]dari kelompok-kelompok tertentu, yang justru menghendaki terjadinya tidak teraturan; misalnya, dari kelompok-kelompok yang sangat diuntungkan dengan terjadinya illegal loging dan illegal fishing. Mereka selama ini telah memanfaatkan dan bersembunyi di balik keberadaan masyarakat miskin untuk mencapai tujuannya. Untuk itu masyarakat juga perlu di berikan pandidikan kritis untuk menyikapi kondisi-kondisi seperti. Masyakat juga memahami bahwa yang dimaksud modal sosial adalah semua kekuatan sosial komunitas yang diskonstruksikan oleh individu atau kelompok dengan mengacu pada struktur sosial yang menurut penilaian mereka pada mencapai tujuan individual dan/atau kelompok secara efisien dan efektif dengan kapital-kapital lainnya.
Di era otonomi daerah ini banyak kebijakan-kebijakan yang dapat di buat berdasarkan kondisi masyarakat di masing-masing wilayahnya, sehingga implementasinya dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat sesuai dengan kondisi lingkungan sosial dan lingkungan alamnya. Pengimplementasian kebijakan yang berhubungan dengan kawasan pesisir dan hutan harus dikaji secara holistik supaya kepentingan-kepentingan ekonomi tidak mengalahkan aspek-aspek ekologisnya. Pemerintah harus menerapkan azas-azas keadilan dan pemerataan dengan menyeimbangkan pertumbuhan ekonomi makro dengan kesejahteraan sosial berbasis masyarakat lokal. Harus ada upaya berbagai pihak untuk menumbuhkan partisipasi dan tanggung jawab masyarakat terhadap keseimbangan dan pelestarian ekologi, khususnya konservasi lahan, hutan dan kawasan pesisir di sekitar tempat tinggalnya.
Pengelolaan suatu kawasan, baik hutan”maupun pesisir di masa depan harus bertitik tolak dari realitas kultural masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan tersebut, bahwa interaksi antara masyarakat dengan ekologinya yang sudah berlangsung dari generasi ke generasi telah melahirkan subkultur (ekologi- budaya) yang saling menjaga keseimbangannya dalam konteks ekosistem.
 5
2.3 Fungsi Kearifan Lokal
A.Kearifan lokal dalam tatanan teradisionalistik
      Di dalam permukiman tradisional, dapat ditemukan pola atau tatanan yang berbeda-beda sesuai dengan tingkat kesakralannya atau nilai-nilai adat dari suatu tempat tertentu. Hal tersebut memiliki pengaruh cukup besar dalam pembentukan suatu lingkungan hunian atau perumahan tradisional. Nilai-nilai adat yang terkandung dalam permukiman tradisional menunjukkan nilai estetika serta local wisdom dari masyarakat tersebut. Terdapat suatu elemen utama dari hal yang sakral tersebut pada permukiman tradisional. Jika permukiman dianggap sebagai suatu lingkungan yang diperadabkan, maka bagi kebanyakan masyarakat tradisional di lingkungan tersebut, menurut ketentuan, merupakan lingkungan yang sakral atau disucikan. Alasan pertama adalah karena orang-orang banyak berpandangan bahwa masyarakat-masyarakat tradisional selalu terkait dengan hal-hal yang bersifat religius. Agama dan kepercayaan merupakan suatu hal yang sentral dalam sebuah permukiman tradisional. Hal tersebut tidak dapat terhindarkan, karena orang-orang akan terus berusaha menggali lebih dalam untuk mengetahui makna suatu lingkungan yang sakral atau disucikan, karena hal itu menggambarkan suatu makna yang paling penting. Kedua, sebuah pandangan yang lebih pragmatik, adalah bahwa hal yang sakral tersebut serta ritual keagamaan yang menyertainya dapat menjadi efektif untuk membuat orang-orang melakukan sesuatu di dalam sesuatu yang disahkan atau dilegalkan.
Pola tata ruang permukiman tradisional Aceh merupakan khasanah warisan budaya yang cukup menonjol, diciptakan dan didukung oleh masyarakat yang bercirikan Islam dan kultur budaya setempat, sehingga pola tata ruang yang terbentuk mempunyai nilai-nilai religi dan budaya yang sangat tinggi. Secara tradisional, pola pemukiman di Aceh terdiri dari rumah-rumah yang dikelompokkan berdasarkan kekerabatan yang diselingi dengan wilayah terbuka yang berfungsi sebagai wilayah publik dan wilayah penyangga hijau.
 
6
Di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam, jejak-jejak kearifan para arsitek jaman dahulu masih dapat ditemukan. Seperti rumah-rumah tradisional lain di Asia Tenggara, rumoh (rumah) Aceh berupa rumah panggung, yang dirancang sesuai dengan kondisi
 iklim, arah angin dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Tidak sekadar sebagai hunian, rumoh Aceh juga menyiratkan budaya dan tata cara hidup orang Aceh yang kaya makna. Rumoh Aceh hingga kini masih bisa ditemui di desa-desa di kawasan pantai timur, mulai dari Aceh Timur hingga Aceh Besar. Namun, jumlahnya terus berkurang. Salah satu permukiman tradisional yang masih bertahan adalah Gampong Lubuk Sukon, Kecamatan Ingin Jaya, Kabupaten Aceh Besar. Gampong ini terletak di dataran rendah, dekat dengan pegunungan, yang sebagian besar rumah penduduknya adalah rumah panggung tradisional Aceh yang terbuat dari kayu. Rumah-rumah di Gampong Lubuk Sukon, secara bijak dirancang dengan prinsip tahan gempa. Observasi Hurgronje (1985) membuktikan bahwa hunian masyarakat (permukiman) Aceh telah disesuaikan terhadap ancaman bencana gempa dan banjir. Orang Aceh, khususnya yang bermukim di wilayah Banda Aceh (dahulu disebut dengan Kutaradja) dan Aceh Besar, sejak tahun 1600 telah sadar bahwa letak kota mereka secara geografis tidak terlalu baik (Lombard, 2006). Pola yang terbentuk dari keseluruhan sistem permukiman masyarakat Gampong Lubuk Sukon memiliki makna dan tujuan tertentu berdasarkan konsep-konsep lokal yang telah terbukti dapat lebih diterima oleh masyarakat penggunanya.
B.Kearifan lokal dalam tatanan Tradisionalistik
   Ciri dari permukiman tradisional sebagai wujud budaya khas adat dapat ditemukan pada pola perumahan taneyan lanjhang yang merupakan ciri khas arsitektural Madura yang memiliki tatanan berbeda dengan nilai adat tradisi Madura yang kental mengusung nilai dan sistem kekerabatan yang erat dan masih dapat ditemukan kesakralannya pada beberapa wilayah di Pulau Madura. Karakteristik orisinil masyarakat Madura cenderung memiliki corak perumahan tidak mengarah pada bentuk desa berkerumun tetapi lebih kepada corak berpencar. Membuat koloni-koloni dalam rupa kampung-kampung kecil. Ada juga satu pekarangan yang terdiri dari empat atau lima keluarga.
7
Ekspresi ruang pada susunan rumah tradisional Madura, atau yang lazim disebut taneyan lanjhang adalah salah satu contoh hasil olah budaya yang lebih didasarkan kepada makna yang mendasari pola pemikiran masyarakatnya. Hal tersebut sangat dipengaruhi oleh keberadaan dan cara hidup masyarakatnya. Makna ruang tidak hanya didasari oleh pengertian estetis dan visual semata. Pemaknaan lebih didasarkan kepada esensi terdalam dari apa yang ada dalam alam pemikiran masyarakatnya karena itulah ekspresi visual adalah cerminan nilai dasar dari jati diri masyarakatnya (Tulistyantoro, 2005). Pola perumahan taneyan lanjhang, merupakan pola yang terbentuk karena adanya tradisi bermukim masyarakat Desa lombang dipengaruhi oleh garis matrilineal dengan membentuk satu pola permukiman yang disebut sebagai pola permukiman taneyan lanjhang (halaman panjang). Menurut Zawawi Imron (survey primer 2008), permukiman taneyan lanjhang merupakan konsep bermukim yang mengacu pada kekerabatan yang mengandung ajaran untuk memberikan eksistensi pada perempuan. Sedangkan menurut Edy, budayawan Madura (survey primer 2008) dikatakan bahwa konsep taneyan lanjhang yang merupakan budaya bermukim masyarakat Madura pada umumnya timbul karena kondisi geografis yang kurang menguntungkan (kering/tandus) menyebabkan diperlukan banyak tenaga untuk mengelola lahan tersebut sehingga perempuan dianggap sebagai aset bagi keluarga dalam menambah jumlah tenaga (membawa suami untuk masuk ke dalam lingkungan keluarga perempuan karena berlakunya tradisi matrilokal). Taneyan sendiri difungsikan sebagai pengikat antar bangunan yang menunjukkan kekerabatan yang erat (matrilokalitas) serta sebagai orientasi dan arah hadap bangunan. (Dewi, 2008)

C. Peninggalan Kolonial dan Kearifan Lokal
peninggalan Kolonial Belanda yang masih ada di Kawasan Oranjebuurt terdiri dari bangunan yang dibangun pada perioede awal tahun 1900 sampai dengan sebelum tahun 1930 (sekitar tahun 1914-1918) dan bangunan yang dibangun sekitar tahun 1930-an. Bangunan yang dibangun sekitar tahun 1914-1918 memiliki desain bangunan yang secara keseluruhan terkesan lebih dekoratif dan detail dari bangunan berlanggam tahun 1930-an.
8
Secara umum, fasade bangunan pada masing-masing sisi ruas jalan di Kawasan Oranjebuurt Kota Malang kurang memiliki legibilitas (kemudahan untuk dipahami atau dibayangkan dan dapat diorganisir sebagai suatu pola yang koheren). Unsur irama sebagai
pengikat pola maupun urutan klimaks dan anti klimaks sulit ditemukan karena perubahan fisik bangunan baru tidak memperhatikan harmonisasi dengan bangunan yang telah ada sebelumnya. Walaupun hanya tersisa beberapa bangunan, masih terdapat beberapa bangunan peninggalan Kolonial Belanda yang memperlihatkan suatu harmonisasi antar fasade bangunannya, pengakitan yang digunakan di antarnya adalah proksimity, reproduksi dan penutup berkesinambungan. Skala ketinggian bangunan di Kawasan Oranjebuurt tidak membentuk suatu kesan ruang, karena memiliki garis sempadan bangunan yang cukup besar, sehingga jarak antar muka bangunannya rata-rata empat kali lebih besar dari ketinggian bangunan. (Novayanto, 2008) Keteraturan ruang pada Kawasan Oranjebuurt secara makro terbentuk oleh kaitan visual ruang terbuka (open space/void) yang lebih dominan, sedangkan massa bangunan (solid) lebih kepada sebagai infill saja. Void yang membentuk kaitan visual di Kawasan Oranjebuurt terdiri dari struktur jaringan jalan yang memperkuat orientasi kawasan. Solid atau massa yang terdapat di Kawasan Oranjebuurt memiliki peran dalam elemen perkotaan sebagai blok medan, yaitu sebagai massa yang memiliki berbagai macam bentuk dan orientasi, namun masing-masing tidak dilihat sebagai individu, melainkan dilihat sebagai keseluruhan massa secara bersama.
D. Persepsi Budaya dalam Arsitektur Perkotaan
Persepsi budaya dalam perkotaan pertama digunakan dalam antropologi. Hal ini ditegaskan oleh Clifford Geertz dalam The Interpretation of Culture (1973), seikat dari aktifitas dan nilai yang membentuk karakter dari masyarakat, dalam kasus ini adalah masyarakat perkotaan. Kedua, digunakan secara terbatas di tempat budaya disamakan dengan seni dan kebiasaan, dan terutama dengan bidang melukis dan musik. Dalam pandangan Lewis Mumford melalui The Culture of Cities (1938)nya mengatakan bahwa, kota mempunyai creative focal points bagi masyarakat, dan kota  adalah titik maksimum konsentrasi untuk power and culture dari komuniti.
9
ota dibentuk oleh budaya, tetapi sebaliknya kota dipengaruhi wujud dari budaya itu. Kota dibentuk bersama-sama dengan langgam, menurut Mumford sangat manusiawi, dan merupakan “greatest work of art”. Di dalam kota, waktu menjadi visibel, dengan lapisan-lapisan dari masa lalu yang masih bertahan pada buildings, monuments, dan public ways. Peran budaya terhadap kota dalam The City (1905), Max Weber mengatakan bahwa konsep kota menekankan kesopanan (urbanity) – wujud kosmopolitan dari urban experience. Melalui wujudnya, sebuah kota dimungkinkan menjadi puncak dari individual dan inovasi, dan hal ini menjadi instrumen dari perubahan sejarah. Dalam perkembangan penulisan sejarah di Amerika, Eric Lampard mencoba mendefinisikan sejarah kota dengan sejarah dari “urbanisasi sebagai proses kemasyarakatan”, bukan sejarah dari “kota”. Hasil dari sejarah kota yang demikian itu kemudian diberi nama the new urban history. Maksud dari pembatasan ini ialah untuk mengembalikan bidang sejarah kota kepada gejala kekotaan yang khas, yang menekankan kekotaan sebagai pusat perhatian sejarah. (Kuntowijoyo 2003:64).
        10
 BAB III
KESIMPULAN

 
          Kearifan lokal merupakan bagian dari tradisi-budaya masyarakat suatu bangsa, yang muncul menjadi bagian-bagian yang ditempatkan pada tatanan fisik bangunan (arsitektur) dan kawasan (perkotaan), dalam geografi kenusantaraan sebuah bangsa. Secara fisik arsitektural dalam lingkungan binaan, permukiman tradisional dapat diperlihatkan keragaman bentuk kearifan, salah satunya diwujudkan dalam bentuk dan pola tatanan permukimannya. Nilai-nilai adat tradisi-budaya yang dihasilkan mempunyai tingkat kesakralan yang berbeda dari masing-masing daerah di nusantara ini, sesuai dengan keragaman etnis yang menempatkan daerah atau wilayah tersebut. Dalam arsitektur perkotaan, bangunan-bangunan peninggalan kolonial beserta kawasan bersejarahnya dapat memberikan irama sebagai pengikat pola maupun urutan klimaks dan anti klimaks masih dapat ditemukan di beberapa kawasan. Hal ini terjadi, karena perubahan fisik arsitektur dan lingkungan binaan baru tidak memperhatikan harmonisasi kearifan lokal dari bangunan dan kawasan yang telah ada sebelumnya. Sebenarnya pendekatan lain juga dapat digunakan dalam mengungkapkan nilai kearifan lokal, yaitu melalui pendekatan teori di dalam mengkaji arsitektur bangunan maupun kawasan perkotaannya. Dengan demikian kearifan lokal/setempat dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan searah dengan masyarakat.


11
DAFTAR PUSTAKA
http://www.amanbengkulu.co.cc/?p=40















12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar